Ketika Pak Dani Sakit
Desi
menghentakkan kakinya dengan kesal. Namun usahanya jelas sia-sia, karena sang Ayah
berbicara dengannya lewat telepon. Tidak melihat secara langsung apa yang Desi
lakukan.
“Sudahlah,
Nak. Jangan manja. Naik taksi saja. Oke?” saran Ayah.
Desi mengerucutkan bibirnya, nada protesnya
keluar, “Kenapa sih Pak Dani pakai acara sakit segala?”
“Aduh..
sudah, sudah! Ayah tidak mau dengar rengekan kamu lagi. Intinya, kamu pulang
naik taksi. Nanti Ayah ganti uangnya, ada uangnya, kan?”
“Ada”
jawab Desi cemberut berat
“Ya
sudah. Nanti hati-hati. Ayah mau ngejenguk Pak Dani dulu.”
“Tuh
kan, Ayah nyebelin. Desi kira Ayah ada rapat atau kerjaan apa gitu, jadi nggak
bisa gantiin Pak Dani dan Desi yang ditelantarin. Kan nggak adil, Yah?”
“Desi!
Ayah capek dengan kelakuan kamu. Pokoknya, kamu pulang naik taksi. Nah, Ayah
pergi dulu. Kamu hati-hati di jalan.”
Desi
menarik nafas panjang, kesal. Masa Ayah lebih mementingkan supir daripada anak
sendiri? Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Semua temannya sudah pulang.
Lagipula, tidak ada satupun temannya yang satu arah perjalanan ke rumahnya,
jadi mau tidak mau memang Desi harus pulang sendirian.
Setelah
berdiri di sebelah satpam sekolah pintu gerbang selama sepuluh menit, Desi
mulai kesal lagi. Kok tidak ada taksi? Segera Desi bertanya pada satpam itu.
Dan jawaban satpam itu benar-benar membuat Desi mengeluh panjang karena dia
harus naik Angkot. Jam segini taksi memang sudah tidak lewat sekolah lagi.
Desi
ingat, terakhir kali naik angkot itu dua tahun lalu. Itu pun semua penumpangnya
adalah temannya sendiri. Berbeda sekali dengan kondisi sekarang. Dengan lincah
Desi menyeberang jalan dan menghentikan angkot pertama yang dilihatnya dan
langsung masuk. Syukur sekali angkot itu tidak terlalu penuh. Baru saja Desi
duduk sekedarnya, mobil itu sudah berjalan lagi. Buru-buru Desi mencari posisi
duduk yang enak, takut jika sopir mendadak ngerem, dia langsung jatuh.
Angkot
itu masih sama seperti angkot yang dulu pernah dinaikinya. Sempit, tidak
nyaman, panas, dan berisik. Belum lagi lagu yang mengalun dari radio depan.
Ingin rasanya Desi mengeluarkan ponselnya dan mendengarkan musik dari sana.
Walaupun begitu, dia tidak berani, seandainya saja Pak Dani tidak sakit.. pasti
dia tidak harus terjebak dalam angkot dalam kondisi seperti ini.
Sengsara
mendengarkan lagu favorit si supir angkot, Desi lebih memilih untuk memusatkan
perhatiannya ke percakapan dua orang cewek di sebelahnya.
“Nanti
mampir ke mall dulu yuk, makan-makan atau foto-foto,” ujar cewek berambut
panjang di sebelah Desi mengajak temannya yang duduk di sudut angkot.
”Nggak,
ah. Makan apa? Mahal. Mending makan di rumah. Kondisi keuangan tidak mendukung,
nih. Jajan di sekolah saja susah, masa mau makan di mall? Duit dari mana?”
jawab cewek yang duduk di pojok. Nyaris Desi mendengus mendengar jawaban cewek
itu. Bagi Desi, makan di mall itu hal
biasa. Malah, setiap malam keluarganya makan di restoran. Keluarganya
jarang sekali masak sendiri.
Angkot mendadak
berhenti. Ada penumpang lain yang masuk ke angkot. Seorang Bapak Tua yang duduk
tepat di depan Desi. Mata Desi terbentur ke arah sepatu Bapak itu. Sepatu boat
yang kelihatan sudah usang sekali. Lusuh, dan jelek. Baju kemeja itu terlihat
agak terlalu besar. Warnanya pun mengenaskan. Abu-abu pucat. Belum lagi
sweaternya yang rajutannya terlihat sangat kasar. Secara penampilan, Bapak ini
sukses menampilkan citra diri sebagai orang miskin di mata Desi. Tidak ada
benda berharga apa pun yang melekat pada diri Bapak itu. Tidak ada jam tangan ,
bahkan tidak ada cincin kawin.
Bahkan, Pak
Dani, supir Desi yang Desi anggap sangat miskin dan menyedihkan pun masih
terlihat jauh, jauh, jauh lebih baik bila dibandingkan dengan Bapak di
hadapannya itu. Desi selama ini selalu merasa tidak puas. Selalu merasa kurang,
apalagi jika membandingkan diri dengan teman-temannya. Dita, misalnya, teman
sekelas Desi. Dita selalu membawa mobil sendiri setiap kali berangkat sekolah.
Dan dengar-dengar itu mobilnya pribadi. Sementara mobil Desi adalah mobil
keluarga. Bahkan pergi dan pulang sekolah pun Desi harus bersama Pak Dani.
Tapi, toh ternyata lebih banyak lagi orang yang tidak punya mobil.
“Kenapa selama
ini aku jarang bersyukurya? Kenapa aku selalu memandang ke atas tanpa melihat
orang-orang yang berada di bawah yang lebih, lebih kurang dariku” batinnya.
Begitu sampai di rumah, Desi tak lagi teriak memanggil Bi Ina untuk membawakan
tas sekolahnya dan membuatkan minum, Desi melakukannya sendiri.
“Kringgggg!
Kringggg!” Pesawat telepon di rumahnya berbunyi nyaring. Segera dihampiri dan
diangkatnya telepon itu.
“Ina, Desi sudah
pulang belum?” suara Ayah langsung terdengar
“Ini Desi, Yah.
Baru saja sampai,” sahut Desi riang
Desi menutup
telepon dengan hati yang bahagia. Tiba-tiba saja dia bisa mensyukuri semua yang
dimiliikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar