Selasa, 27 November 2012

Cerpen


Ketika Pak Dani Sakit

                Desi menghentakkan kakinya dengan kesal. Namun usahanya jelas sia-sia, karena sang Ayah berbicara dengannya lewat telepon. Tidak melihat secara langsung apa yang Desi lakukan.
                “Sudahlah, Nak. Jangan manja. Naik taksi saja. Oke?” saran Ayah.
                Desi  mengerucutkan bibirnya, nada protesnya keluar, “Kenapa sih Pak Dani pakai acara sakit segala?”
                “Aduh.. sudah, sudah! Ayah tidak mau dengar rengekan kamu lagi. Intinya, kamu pulang naik taksi. Nanti Ayah ganti uangnya, ada uangnya, kan?”
                “Ada” jawab Desi cemberut berat
                “Ya sudah. Nanti hati-hati. Ayah mau ngejenguk Pak Dani dulu.”
                “Tuh kan, Ayah nyebelin. Desi kira Ayah ada rapat atau kerjaan apa gitu, jadi nggak bisa gantiin Pak Dani dan Desi yang ditelantarin. Kan nggak adil, Yah?”
                “Desi! Ayah capek dengan kelakuan kamu. Pokoknya, kamu pulang naik taksi. Nah, Ayah pergi dulu. Kamu hati-hati di jalan.”
                Desi menarik nafas panjang, kesal. Masa Ayah lebih mementingkan supir daripada anak sendiri? Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Semua temannya sudah pulang. Lagipula, tidak ada satupun temannya yang satu arah perjalanan ke rumahnya, jadi mau tidak mau memang Desi harus pulang sendirian.
                Setelah berdiri di sebelah satpam sekolah pintu gerbang selama sepuluh menit, Desi mulai kesal lagi. Kok tidak ada taksi? Segera Desi bertanya pada satpam itu. Dan jawaban satpam itu benar-benar membuat Desi mengeluh panjang karena dia harus naik Angkot. Jam segini taksi memang sudah tidak lewat sekolah lagi.
                Desi ingat, terakhir kali naik angkot itu dua tahun lalu. Itu pun semua penumpangnya adalah temannya sendiri. Berbeda sekali dengan kondisi sekarang. Dengan lincah Desi menyeberang jalan dan menghentikan angkot pertama yang dilihatnya dan langsung masuk. Syukur sekali angkot itu tidak terlalu penuh. Baru saja Desi duduk sekedarnya, mobil itu sudah berjalan lagi. Buru-buru Desi mencari posisi duduk yang enak, takut jika sopir mendadak ngerem, dia langsung jatuh.
                Angkot itu masih sama seperti angkot yang dulu pernah dinaikinya. Sempit, tidak nyaman, panas, dan berisik. Belum lagi lagu yang mengalun dari radio depan. Ingin rasanya Desi mengeluarkan ponselnya dan mendengarkan musik dari sana. Walaupun begitu, dia tidak berani, seandainya saja Pak Dani tidak sakit.. pasti dia tidak harus terjebak dalam angkot dalam kondisi seperti ini.
                Sengsara mendengarkan lagu favorit si supir angkot, Desi lebih memilih untuk memusatkan perhatiannya ke percakapan dua orang cewek di sebelahnya.
                “Nanti mampir ke mall dulu yuk, makan-makan atau foto-foto,” ujar cewek berambut panjang di sebelah Desi mengajak temannya yang duduk di sudut angkot.
                ”Nggak, ah. Makan apa? Mahal. Mending makan di rumah. Kondisi keuangan tidak mendukung, nih. Jajan di sekolah saja susah, masa mau makan di mall? Duit dari mana?” jawab cewek yang duduk di pojok. Nyaris Desi mendengus mendengar jawaban cewek itu. Bagi Desi, makan di mall itu hal  biasa. Malah, setiap malam keluarganya makan di restoran. Keluarganya jarang sekali masak sendiri.
Angkot mendadak berhenti. Ada penumpang lain yang masuk ke angkot. Seorang Bapak Tua yang duduk tepat di depan Desi. Mata Desi terbentur ke arah sepatu Bapak itu. Sepatu boat yang kelihatan sudah usang sekali. Lusuh, dan jelek. Baju kemeja itu terlihat agak terlalu besar. Warnanya pun mengenaskan. Abu-abu pucat. Belum lagi sweaternya yang rajutannya terlihat sangat kasar. Secara penampilan, Bapak ini sukses menampilkan citra diri sebagai orang miskin di mata Desi. Tidak ada benda berharga apa pun yang melekat pada diri Bapak itu. Tidak ada jam tangan , bahkan tidak ada cincin kawin.
Bahkan, Pak Dani, supir Desi yang Desi anggap sangat miskin dan menyedihkan pun masih terlihat jauh, jauh, jauh lebih baik bila dibandingkan dengan Bapak di hadapannya itu. Desi selama ini selalu merasa tidak puas. Selalu merasa kurang, apalagi jika membandingkan diri dengan teman-temannya. Dita, misalnya, teman sekelas Desi. Dita selalu membawa mobil sendiri setiap kali berangkat sekolah. Dan dengar-dengar itu mobilnya pribadi. Sementara mobil Desi adalah mobil keluarga. Bahkan pergi dan pulang sekolah pun Desi harus bersama Pak Dani. Tapi, toh ternyata lebih banyak lagi orang yang tidak punya mobil.
“Kenapa selama ini aku jarang bersyukurya? Kenapa aku selalu memandang ke atas tanpa melihat orang-orang yang berada di bawah yang lebih, lebih kurang dariku” batinnya. Begitu sampai di rumah, Desi tak lagi teriak memanggil Bi Ina untuk membawakan tas sekolahnya dan membuatkan minum, Desi melakukannya sendiri.
“Kringgggg! Kringggg!” Pesawat telepon di rumahnya berbunyi nyaring. Segera dihampiri dan diangkatnya telepon itu.
“Ina, Desi sudah pulang belum?” suara Ayah langsung terdengar
“Ini Desi, Yah. Baru saja sampai,” sahut Desi riang
Desi menutup telepon dengan hati yang bahagia. Tiba-tiba saja dia bisa mensyukuri semua yang dimiliikinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar